Rabu, 20 Juni 2012

Cutaneus Larva Migran


Cutaneus larva migran disebut juga dengan creeping eruption, dermatosis linearis migrans dan sandworm disease. Istilah ini digunakan untuk kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, yang disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari anjing atau kucing.

Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering berhubungan dengan tanah dan pasir. Penyakit ini banyak terjadi didaerah tropis dan subtropis yang hangat dan lembab. Di Indonesia ini masih banyak ditemukan kelainan kulit ini.


Etiopatogenesis

Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing atau kucing yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma canicum. Nematoda (cacing dewasa) hidup dalam hospes, kemudian ovum akan keluar bersama dengan feses. Dalam keadaan hangat dan lembab maka ovum akan menetas menjadi larva. Larva ini mampu melakukan penetrasi kedalam kulit manusia. Larva akan berjalan dilapisan kulit dermoepidermal, yang kemudian akan menimbulkan manifestasi klinis.

Gejala klinis

Masuknya larva kedalam kulit akan menimbulkan rasa panas dan gatal. Awalnya akan tampak papula, kemudian diikuti bentuk khas yaitu lesi berbentuk linear yang berkelok-kelok, serpiginosa (seperti ular) berwarna kemerahan. Lesi kulit berupa papula menunjukkan bahwa larva telah ada dalam kulit selama beberapa jam-hari.

Papula merah ini kemudian akan berkembang menjalar seperti benang berkelok-kelok, serpiginosa, menimbul, dan membentuk kanalikuli mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal akan lebih dirasakan saat malam hari. Tempat predileksi adalah ditungkai, plantar, tangan, anus, bokong dan paha.

Diagnosis

Diagnosis berdasarkan bentuk yang khas yaitu terdapat kelainan seperti benang berkelok-kelok, serpiginosa menimbul, serta terdapat papula atau vesikel diatasnya.

Penatalaksanaan

Antihelmintes berspektrum luas diketahui efektif untuk cutaneus larva migran, misalnya tiabendazole dengan dosis 50 mg/KgBB/hari sehari 2 kali diberikan berturut-turut selama 2 hari. Obat tersebut sukar didapat dan efek sampingnya mual,dan muntah. Pengobatan dengan tiabendazole topikal ternyata efektif. Obat lain adalah albendazole, dosis sehari 400 mg sebagai dosis tunggal, diberikan 3 hari berturut-turut. Cara terapi lain adalah dengan cryotherapy yaitu menggunakan CO2 snow (dry ice). Pengobatan ini bila terlalu lama digunakan dapat merusak jaringan.

Pembahasan

Pada pasien ini keluhan utama yang membawa pasien datang ke Rumah Sakit adalah gatal pada punggung kaki. Dari anamnesis didapatkan keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu, gatal terutama malam hari, awalnya muncul plenting-plenting yang kemudian tampak garis merah yang berkelok-kelok. Garis tersebut makin panjang dan dapat berpindah tempat. Diketahui bahwa faktor risiko yang ada pada pasien adalah pasien sering bermain dipasir yang ada pada depan rumah tanpa menggunakan alas kaki. Selain itu keluhan yang serupa juga dirasakan oleh kakak pasien yang juga sering bermain bersama. Dari pemeriksaan fisik tampak pada dorsum kaki dekstra papula eritem dengan susunan linear berkelok-kelok, serpiginosa dan tampak ekskoriasi pada daerah sekitar lesi. Dengan data tersebut dapat ditegakkan diagnosis berupa cutaneus larva migran. Terapi yang digunakan adalah antihelmintes topikal yaitu albendazole cream digunakan 2 kali sehari. Dan hal yang harus diperhatikan adalah menghindari faktor risiko yaitu selalu gunakan alas kaki.

1 komentar: