Rabu, 20 Juni 2012

Dermatitis Kontak Iritan

I.          PENDAHULUAN

Dermatitis merupakan reaksi inflamasi terhadap berbagai faktor eksogen maupun endogen, menimbulkan klinis yang polimorfik (eritema, edema, papula, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal, yang melibatkan epidermis dan dermis. Dermatitis kontak adalah inflamasi akut maupun kronik yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak alergik (DKA) dan dermatitis kontak iritan (DKI). DKA adalah suatu dermatitis kontak yang terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Sedangkan DKI merupakan reaksi inflamasi kulit non-imunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa proses sensitisasi. Menurut penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta prevalensi dermatitis kontak adalah 3,07% dan jumlah kasus DKI lebih besar daripada DKA.


Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja). DKI merupakan penyakit kulit yang berhubungan dengan pekerjaan yang paling sering terjadi mencapai ±80% dari semua kasus. Beberapa pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi terjadinya DKI adalah petani, tukang cuci, pekerja mebel, tukang kayu, pekerja bangunan, tukang las, salon dan pemotong rambut. Pekerjaan-pekerjaan tersebut berkaitan erat dengan penggunaan bahan-bahan kimia. Namun seiring berkembangnya zaman, penggunaan bahan-bahan kimia semakin marak pada kehidupan sehari-hari. Sehingga DKI dapat terjadi pada pada siapa saja yang sering terpapar dengan bahan yang bersifat iritan. Banyak bahan-bahan kimia yang digunakan sehari-hari yang mempunyai sifat iritan walaupun hanya lemah. Namun jika digunakan secara berulang-ulang maka dapat menimbulkan DKI yang kronis/kumulatif. Contoh bahan yang bersifat iritan lemah misalnya saja detergen, sabun, pelarut dan sebagainya.

Pada DKI kelainan kulit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan, dan vehikulum juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut adalah lama kontak, frekuensi yang berulang, adanya oklusi, gesekan dan trauma fisik, suhu, kelembaban dan lingkungan. Faktor individu juga berpengaruh pada DKI misalnya perbedaan permeabilitas, ras, jenis kelamin, riwayat atopik.

Penggalian informasi untuk mendiagnosis DKI serta penggalian informasi terhadap bahan-bahan iritan pada penderita DKI serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya DKI penting dilakukan untuk upaya penyembuhan dan pencegahan kekambuhan dari DKI. Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dibahas tentang DKI karena banyaknya kasus DKI yang terjadi pada masyarakat umum dengan semakin maraknya penggunaan bahan-bahan kimia, apakah cara diagnosis sudah tepat serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya DKI pada salah satu kasus DKI yang terjadi pada seorang pasien di RSUD Wonosari.






II.          KASUS

A.      Identitas

Nama               :N.K.

Usia                 :14 tahun

Jenis Kelamin  :Perempuan

Pekerjaan         :Pelajar

Alamat             :Semanu

B.       Anamnesis


2.         RPS          :Pasien datang dengan keluhan pada jari telunjuk tangan kanan terasa panas dan gatal sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya jari telunjuk hanya terasa gatal, kemudian lama-lama menjadi panas, kemerahan lalu kulitnya mengelupas sehingga menjadi kasar dan tampak bersisik. Bila digunakan mencuci akan terasa sangat gatal, perih dan keluhan menjadi lebih berat. Pasien sering mencuci menggunakan detergen. Bila pasien frekuensi mencuci berkurang keluhan diakui berkurang.

3.         RPD         :Pasien pernah mengalami keluhan serupa ± 1 tahun yang lalu. Diobati dengan menggunakan salep lalu membaik. Pasien lupa nama salep tersebut. Riwayat alergi, astma, bersin-bersin dipagi hari disangkal.

4.         RPK         :Keluhan serupa pada keluarga disangkal.

C.       Pemeriksaan Fisik

Lesi tampak pada jari telunjuk tangan kanan. Terdapat plak eritem, hampir mengenai seluruh permukaan telunjuk, bentuk tidak teratur, batas tidak tegas, tepi ileguler, ditutupi oleh skuama diatasnya. Skuama berwarna putih. Xerotic (+), fisura (+).

D.      Diagnosis Banding

1.      Dermatitis kontak iritan

2.      Dermatitis kontak alergi

3.      Dermatitis atopik

E.       Pemeriksaan Laboratorium

Tidak dilakukan

F.        Diagnosis

Dermatitis kontak iritan e.c. detergen

G.      Terapi

Acid salicylic 3%

Inerson oint gr 15

H.      Saran

Hindari kontak dengan iritan yaitu detergen. Kurangi frekuensi paparan dengan detergen. Bila harus mencuci dengan detergen gunakan sarung tangan atau bilas tangan hingga bersih sehingga tidak terdapat sisa detergen pada jari.




III.          DISKUSI

Pada DKI, riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada adanya riwayat paparan iritan pada kulit tubuh. Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. Tidak ada uji diagnostik untuk DKI. Diagnosis berdasarkan ekslusi penyakit kulit lainnya (khususnya DKA) dan berdasarkan pada penampakan klinis dermatitis pada tempat yang terpapar secara cukup oleh iritan yang diketahui.

DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Dermatitis pada tangan pekerja 80% karena iritan. Pekerjaan yang berisiko tinggi adalah pekerjaan yang berkaitan dengan cuci tangan berulang seperti tukang cuci, tukang bersih-bersih dan tukang masak. DKI lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini ditemukan dalam kasus diatas yaitu DKI terjadi pada perempuan yang sering terpapar dengan deterjen karena diakui bahwa pasien sering mencuci dengan detergen.

DKI dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor zat iritan, faktor lingkungan dan faktor individu. Dari anamnesis dikatakan keluhan muncul sejak 3 bulan yang lalu. Pasien sendiri merupakan seorang pelajar yang tinggal diasrama sehingga sering mencuci sendiri dengan detergen bahkan hampir setiap hari. Pasien juga mengatakan bahwa keluhan makin berat saat pasien mencuci dengan detergen. Bila pasien mengurangi kegiatan mencuci dengan detergen diakui keluhan berkurang. Sehingga dari anamnesis tersebut kemungkinan bahan iritan yang mengenai pasien adalah detergen.

Faktor lingkungan, aktivitas mencuci dengan tangan yang sering setiap harinya pada pasien merupakan aktivitas yang melibatkan gesekan dan berisiko terjadinya trauma mikro. Selain itu saat mencuci tangan akan terus menerus terendam dalam air sehingga akan menyebabkan tangan menjadi  lebih lembab sehingga bahan iritan dapat lebih mudah penetrasi pada lapisan kulit. Selain itu kebiasaan mencuci dengan detergen diakui pasien sudah dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan kebiasaan tersebut makin sering dilakukan sejak pasien tinggal diasrama. Dari kondisi tersebut dapat dilihat adanya faktor lama dan frekuensi paparan yakni adanya paparan yang berulang tapi ringan pada pasien. Hal ini menyebabkan munculnya DKI yang bersifat kronis/kumulatif. DKI ini disebabkan oleh bahan yang bersifat iritan lemah namun terpapar secara berulang-ulang. Kebiasaan pasien tidak mencuci tangan dengan bersih setelah terpapar detergen sehingga terdapat sisa detergen yang melekat ditangan dalam jangka waktu yang lama juga mempengaruhi.

Dari faktor individu, keluhan yang pernah terjadi sebelumnya dan muncul kembali dan serta makin bertambah berat terjadi akibat belum pulihnya sawar kulit dengan baik namun sudah disusul oleh kontak iritan berikutnya sehingga menimbulkan kelainan kulit. Selain itu jenis kelamin pasien adalah perempuan, dimana dilaporkan bahwa insidensi DKI lebih banyak pada perempuan.

Secara klinis kasus diatas dapat digolongkan menjadi DKI kronis. Hal ini sesuai karakteristik DKI kronis karena penyebabnya adalah iritan lemah, onset berminggu-minggu bulan sampai tahun, kulit tampak kering, eritema, skuama, hiperkeratosis, bila terus-terusan dapat retak atau fisura, adanya riwayat kontak berulang-ulang dan berhubungan dengan pekerjaan. Dari anamnesis pasien diketahui bahwa onset keluhan sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan kulit mengelupas, tebal dan perih; paparannya adalah iritan lemah yaitu detergen; dan pasien sering mencuci dengan tangan menggunakan detergen. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan plak eritem dengan skuama serta terdapat fisura. Maka anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan karakteristik DKI kronis.

Menurut Standar Pelayanan Medis RSUP Sardjito pengelolaan untuk DKI adalah sebagai berikut:

a.              Hentikan kontak dengan bahan penyebab atau yang dicurigai.

b.             Bersihkan dari bahan-bahan iritan (baik bahan yang dicurigai sebagai penyebab maupun bahan lain yang dapat mengganggu penyembuhan).

c.              Dilakukan pengelolaan dermatitis secara umum:

1.    Topikal

-          Dermatitis akut membasah : kompres untuk pembersihan dan pengeringan dengan obat kompres yang tidak iritatif sampai lesinya tidak produktif, kemudian dilanjutkan dengan jenis lain yang sesuai.

-          Dermatitis akut tidak membasah : krim kortikosteroid lemah 2 kali sehari.

-          Dermatitis subakut : krim kortikosteroid lemah 2 kali sehari.

-          Dermatitis kronis : salep kortikosteroid sedang/kuat, jika ada penebalan dicampur dengan asam salisilat 5-10%.

2.    Sistemik

Dikerjakan untuk:

-          Menekan peradangan yang berat, jika peradangan telah berkurang dan dapat diatasi secara topikal, penggunaan secara sistemik dapat dihentikan secara bertahap. Jika tidak ada kontraindikasi dapat digunakan prednison 15-30 mg/hari atau lainnya yang setara.

-          Membantu mengurangi gejala gatal. Dapat digunakan antihistamin, dengan memanfaatkan efek sedatifnya atau antipruritusnya.

d.             Pencegahan selanjutnya dengan mencegah kontak dengan iritan penyebab:

-       Hindari sama sekali bahan tersebut.

-       Hindari bahan tersebut dengan konsentrasi iritatif, sedangkan konsentrasi rendah non-iritatif perhatikan kemungkinan terjadinya kumulatif pada penggunaan yang lama.

Sehingga pada pasien ini hal yang paling penting dilakukan adalah usaha untuk menghindari atau mengurangi paparan dengan bahan iritan. Selain itu juga kurangi lama dan frekuensi paparan dengan bahan iritan. Bila perlu gunakan sarung tangan pelindung. Untuk keluhan diberikan asam salisilat 3% dan Salep Inerson 0,25% 5 gram. Asam salisilat 3% mempunyai daya antipruritus untuk mengurangi keluhan gatal pada pasien. Inerson 0,25% mengandung desoksimetason merupakan steroid topikal yang bersifat kuat. Hal ini digunakan karena pada dermatitis kronis dibutuhkan steroid kuat untuk mengatasi inflamasi. Sedangkan pemilihan bentuk salep karena pada dermatitis kronis lesi kulit bersifat kering.





IV.          KESIMPULAN

DKI dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor zat iritan, faktor lingkungan dan faktor individu. Pada kasus ini faktor iritan adalah detergen yang merupakan bahan yang bersifat iritan lemah. Faktor lingkungannya adalah aktivitas mencuci yang berkaitan dengan gesekan, mikro trauma dan merupakan kegiatan dengan kelembaban tinggi. Faktor individu meliputi jenis kelamin perempuan dan riwayat penyakit serupa yang pernah dialami.

Secara klinis kasus diatas dapat digolongkan menjadi DKI kronis karena sesuai dengan karakteristiknya yaitu penyebabnya adalah iritan lemah, onset lama, kulit tampak kering, eritema, skuama, hiperkeratosis, fisura, adanya riwayat kontak berulang-ulang dan berhubungan dengan pekerjaan.

Untuk pengobatan yang paling penting adalah menghindari bahan iritan. Kemudian diberikan juga steroid topikal kuat dan antipruritus.



V.          DAFTAR PUSTAKA

Budimulja, U., 2008. Ilmu Penyakit Kelamin Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Marks, J. G., Miller, J. J., 2006. Lookingbill and Marks’ Principles of Dermatology Fourth Edition. Elvesier Saunders, India.

Wolf, K., Johnson, R. A., 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology Sixth Edition. Mc Graw Hill, New York.

Etnawati dan Soedarmadi. 1990. Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin. Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar