Dermatitis
merupakan reaksi inflamasi terhadap berbagai faktor eksogen maupun endogen,
menimbulkan klinis yang polimorfik (eritema, edema, papula, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal, yang melibatkan epidermis dan dermis.
Dermatitis kontak adalah inflamasi akut maupun kronik yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak alergik (DKA) dan dermatitis kontak iritan (DKI). DKA adalah suatu
dermatitis kontak yang terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terhadap suatu alergen. Sedangkan DKI merupakan reaksi inflamasi kulit
non-imunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa proses
sensitisasi. Menurut penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta prevalensi
dermatitis kontak adalah 3,07% dan jumlah kasus DKI lebih besar daripada DKA.
Jumlah
penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan
pekerjaan (DKI akibat kerja). DKI merupakan penyakit kulit yang berhubungan
dengan pekerjaan yang paling sering terjadi mencapai ±80% dari semua kasus.
Beberapa pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi terjadinya DKI adalah petani,
tukang cuci, pekerja mebel, tukang kayu, pekerja bangunan, tukang las, salon
dan pemotong rambut. Pekerjaan-pekerjaan tersebut berkaitan erat dengan
penggunaan bahan-bahan kimia. Namun seiring berkembangnya zaman, penggunaan
bahan-bahan kimia semakin marak pada kehidupan sehari-hari. Sehingga DKI dapat
terjadi pada pada siapa saja yang sering terpapar dengan bahan yang bersifat
iritan. Banyak bahan-bahan kimia yang digunakan sehari-hari yang mempunyai
sifat iritan walaupun hanya lemah. Namun jika digunakan secara berulang-ulang
maka dapat menimbulkan DKI yang kronis/kumulatif. Contoh bahan yang bersifat
iritan lemah misalnya saja detergen, sabun, pelarut dan sebagainya.
Pada
DKI kelainan kulit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu ukuran molekul, daya
larut, konsentrasi bahan, dan vehikulum juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Faktor tersebut adalah lama kontak, frekuensi yang berulang, adanya oklusi,
gesekan dan trauma fisik, suhu, kelembaban dan lingkungan. Faktor individu juga
berpengaruh pada DKI misalnya perbedaan permeabilitas, ras, jenis kelamin,
riwayat atopik.
Penggalian
informasi untuk mendiagnosis DKI serta penggalian informasi terhadap
bahan-bahan iritan pada penderita DKI serta faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya DKI penting dilakukan untuk upaya penyembuhan dan
pencegahan kekambuhan dari DKI. Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dibahas tentang
DKI karena banyaknya kasus DKI yang terjadi pada masyarakat umum dengan semakin
maraknya penggunaan bahan-bahan kimia, apakah cara diagnosis sudah tepat serta
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya DKI pada salah satu kasus
DKI yang terjadi pada seorang pasien di RSUD Wonosari.
II.
KASUS
A. Identitas
Nama :N.K.
Usia :14 tahun
Jenis Kelamin :Perempuan
Pekerjaan :Pelajar
Alamat :Semanu
B. Anamnesis
2.
RPS :Pasien
datang dengan keluhan pada jari telunjuk tangan kanan terasa panas dan gatal
sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya jari telunjuk hanya terasa gatal, kemudian
lama-lama menjadi panas, kemerahan lalu kulitnya mengelupas sehingga menjadi
kasar dan tampak bersisik. Bila digunakan mencuci akan terasa sangat gatal,
perih dan keluhan menjadi lebih berat. Pasien sering mencuci menggunakan
detergen. Bila pasien frekuensi mencuci berkurang keluhan diakui berkurang.
3.
RPD :Pasien
pernah mengalami keluhan serupa ± 1 tahun yang lalu. Diobati dengan menggunakan
salep lalu membaik. Pasien lupa nama salep tersebut. Riwayat alergi, astma,
bersin-bersin dipagi hari disangkal.
4.
RPK :Keluhan
serupa pada keluarga disangkal.
C. Pemeriksaan
Fisik
Lesi tampak pada jari telunjuk
tangan kanan. Terdapat plak eritem, hampir mengenai seluruh permukaan telunjuk,
bentuk tidak teratur, batas tidak tegas, tepi ileguler, ditutupi oleh skuama
diatasnya. Skuama berwarna putih. Xerotic (+), fisura (+).
D. Diagnosis
Banding
1. Dermatitis
kontak iritan
2. Dermatitis
kontak alergi
3. Dermatitis
atopik
E. Pemeriksaan
Laboratorium
Tidak dilakukan
F.
Diagnosis
Dermatitis kontak iritan e.c.
detergen
G. Terapi
Acid salicylic 3%
Inerson oint gr 15
H. Saran
Hindari kontak dengan iritan yaitu detergen.
Kurangi frekuensi paparan dengan detergen. Bila harus mencuci dengan detergen
gunakan sarung tangan atau bilas tangan hingga bersih sehingga tidak terdapat
sisa detergen pada jari.
III.
DISKUSI
Pada
DKI, riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI
tergantung pada adanya riwayat paparan iritan pada kulit tubuh. Diagnosis DKI
didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. Tidak ada uji
diagnostik untuk DKI. Diagnosis berdasarkan ekslusi penyakit kulit lainnya
(khususnya DKA) dan berdasarkan pada penampakan klinis dermatitis pada tempat
yang terpapar secara cukup oleh iritan yang diketahui.
DKI
merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi
langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Dermatitis pada tangan pekerja 80%
karena iritan. Pekerjaan yang berisiko tinggi adalah pekerjaan yang berkaitan
dengan cuci tangan berulang seperti tukang cuci, tukang bersih-bersih dan
tukang masak. DKI lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal
ini ditemukan dalam kasus diatas yaitu DKI terjadi pada perempuan yang sering
terpapar dengan deterjen karena diakui bahwa pasien sering mencuci dengan
detergen.
DKI
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor zat iritan, faktor lingkungan dan
faktor individu. Dari anamnesis dikatakan keluhan muncul sejak 3 bulan yang
lalu. Pasien sendiri merupakan seorang pelajar yang tinggal diasrama sehingga sering
mencuci sendiri dengan detergen bahkan hampir setiap hari. Pasien juga mengatakan
bahwa keluhan makin berat saat pasien mencuci dengan detergen. Bila pasien
mengurangi kegiatan mencuci dengan detergen diakui keluhan berkurang. Sehingga
dari anamnesis tersebut kemungkinan bahan iritan yang mengenai pasien adalah
detergen.
Faktor
lingkungan, aktivitas mencuci dengan tangan yang sering setiap harinya pada
pasien merupakan aktivitas yang melibatkan gesekan dan berisiko terjadinya trauma
mikro. Selain itu saat mencuci tangan akan terus menerus terendam dalam air
sehingga akan menyebabkan tangan menjadi lebih lembab sehingga bahan iritan dapat lebih
mudah penetrasi pada lapisan kulit. Selain itu kebiasaan mencuci dengan
detergen diakui pasien sudah dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan
kebiasaan tersebut makin sering dilakukan sejak pasien tinggal diasrama. Dari
kondisi tersebut dapat dilihat adanya faktor lama dan frekuensi paparan yakni
adanya paparan yang berulang tapi ringan pada pasien. Hal ini menyebabkan munculnya
DKI yang bersifat kronis/kumulatif. DKI ini disebabkan oleh bahan yang bersifat
iritan lemah namun terpapar secara berulang-ulang. Kebiasaan pasien tidak
mencuci tangan dengan bersih setelah terpapar detergen sehingga terdapat sisa
detergen yang melekat ditangan dalam jangka waktu yang lama juga mempengaruhi.
Dari
faktor individu, keluhan yang pernah terjadi sebelumnya dan muncul kembali dan serta
makin bertambah berat terjadi akibat belum pulihnya sawar kulit dengan baik
namun sudah disusul oleh kontak iritan berikutnya sehingga menimbulkan kelainan
kulit. Selain itu jenis kelamin pasien adalah perempuan, dimana dilaporkan
bahwa insidensi DKI lebih banyak pada perempuan.
Secara
klinis kasus diatas dapat digolongkan menjadi DKI kronis. Hal ini sesuai karakteristik
DKI kronis karena penyebabnya adalah iritan lemah, onset berminggu-minggu bulan
sampai tahun, kulit tampak kering, eritema, skuama, hiperkeratosis, bila
terus-terusan dapat retak atau fisura, adanya riwayat kontak berulang-ulang dan
berhubungan dengan pekerjaan. Dari anamnesis pasien diketahui bahwa onset
keluhan sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan kulit mengelupas, tebal dan
perih; paparannya adalah iritan lemah yaitu detergen; dan pasien sering mencuci
dengan tangan menggunakan detergen. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan plak
eritem dengan skuama serta terdapat fisura. Maka anamnesis dan pemeriksaan
fisik sesuai dengan karakteristik DKI kronis.
Menurut
Standar Pelayanan Medis RSUP Sardjito pengelolaan untuk DKI adalah sebagai berikut:
a.
Hentikan kontak dengan bahan penyebab
atau yang dicurigai.
b.
Bersihkan dari bahan-bahan iritan (baik
bahan yang dicurigai sebagai penyebab maupun bahan lain yang dapat mengganggu
penyembuhan).
c.
Dilakukan pengelolaan dermatitis secara
umum:
1. Topikal
-
Dermatitis akut membasah : kompres untuk
pembersihan dan pengeringan dengan obat kompres yang tidak iritatif sampai
lesinya tidak produktif, kemudian dilanjutkan dengan jenis lain yang sesuai.
-
Dermatitis akut tidak membasah : krim
kortikosteroid lemah 2 kali sehari.
-
Dermatitis subakut : krim kortikosteroid
lemah 2 kali sehari.
-
Dermatitis kronis : salep kortikosteroid
sedang/kuat, jika ada penebalan dicampur dengan asam salisilat 5-10%.
2. Sistemik
Dikerjakan untuk:
-
Menekan peradangan yang berat, jika
peradangan telah berkurang dan dapat diatasi secara topikal, penggunaan secara
sistemik dapat dihentikan secara bertahap. Jika tidak ada kontraindikasi dapat
digunakan prednison 15-30 mg/hari atau lainnya yang setara.
-
Membantu mengurangi gejala gatal. Dapat
digunakan antihistamin, dengan memanfaatkan efek sedatifnya atau
antipruritusnya.
d.
Pencegahan selanjutnya dengan mencegah
kontak dengan iritan penyebab:
- Hindari
sama sekali bahan tersebut.
- Hindari
bahan tersebut dengan konsentrasi iritatif, sedangkan konsentrasi rendah
non-iritatif perhatikan kemungkinan terjadinya kumulatif pada penggunaan yang
lama.
Sehingga
pada pasien ini hal yang paling penting dilakukan adalah usaha untuk
menghindari atau mengurangi paparan dengan bahan iritan. Selain itu juga
kurangi lama dan frekuensi paparan dengan bahan iritan. Bila perlu gunakan
sarung tangan pelindung. Untuk keluhan diberikan asam salisilat 3% dan Salep
Inerson 0,25% 5 gram. Asam salisilat 3% mempunyai daya antipruritus untuk
mengurangi keluhan gatal pada pasien. Inerson 0,25% mengandung desoksimetason merupakan
steroid topikal yang bersifat kuat. Hal ini digunakan karena pada dermatitis
kronis dibutuhkan steroid kuat untuk mengatasi inflamasi. Sedangkan pemilihan
bentuk salep karena pada dermatitis kronis lesi kulit bersifat kering.
IV.
KESIMPULAN
DKI dipengaruhi
oleh berbagai faktor yaitu faktor zat iritan, faktor lingkungan dan faktor
individu. Pada kasus ini faktor iritan adalah detergen yang merupakan bahan
yang bersifat iritan lemah. Faktor lingkungannya adalah aktivitas mencuci yang
berkaitan dengan gesekan, mikro trauma dan merupakan kegiatan dengan kelembaban
tinggi. Faktor individu meliputi jenis kelamin perempuan dan riwayat penyakit
serupa yang pernah dialami.
Secara klinis
kasus diatas dapat digolongkan menjadi DKI kronis karena sesuai dengan
karakteristiknya yaitu penyebabnya adalah iritan lemah, onset lama, kulit
tampak kering, eritema, skuama, hiperkeratosis, fisura, adanya riwayat kontak
berulang-ulang dan berhubungan dengan pekerjaan.
Untuk pengobatan
yang paling penting adalah menghindari bahan iritan. Kemudian diberikan juga
steroid topikal kuat dan antipruritus.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Budimulja, U., 2008. Ilmu Penyakit Kelamin Edisi Kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Marks, J. G., Miller,
J. J., 2006. Lookingbill and Marks’
Principles of Dermatology Fourth Edition. Elvesier Saunders, India.
Wolf, K., Johnson, R.
A., 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology Sixth Edition. Mc Graw Hill, New York.
Etnawati dan Soedarmadi. 1990. Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin.
Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar